Subscribe Us

header ads

Berdakwah Lewat Buku


Oleh: Mokhamad Abdul Aziz

Tanggal 17 Mei lalu, kita telah memperingati Hari Buku Nasional. Tujuannya sederhana, untuk mengingatkan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya buku untuk “menopang” kehidupan sehari-hari. Apalagi bagi akademisi, buku tentu menjadi sangat urgen, karena dari situlah berbagai macam ilmu bisa dipelajari dan dikaji.

Namun, tentu tidak hanya terbatas pada tujuan itu saja. Masih banyak hal bermanfaat yang bisa disalurkan lewat buku. Salah satunya adalah dakwah. Sering dipahami bahwa dakwah adalah ceramah atau pidato-pidato dalam forum pengajian  atau forum keagamaan lainnya. Padahal, jika dipelajari lebih dalam, dakwah adalah segala aktivitas mengajak manusia kepada kebenaran dan kebaikan (Islam), baik dengan bi al-lisan(ceramah, pidato, dan lain-lain), bi al-qalam (tulisan), dan bi al-hal (tindakan dan perbuatan), untuk menyelamatkan umat manusia dari ketersesatan.
Perintah berdakwah di dalam al-Qur’an akan banyak kita jumpai di beberapa tempat. Salah satunya adalah Surat Al-Nahl ayat 125,“Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad) dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik, dan berbahaslah dengan mereka (yang engkau serukan itu) dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu Dia lah jua yang lebih mengetahui akan orang yang sesat dari jalanNya, dan Dia lah jua yang lebih mengetahui akan orang-orang yang mendapat hidayah petunjuk”. Dari ayat tersebut, maka jelas bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi diberikan tugas untuk menyeru dan mengajak sesamanya kepada jalan yang lurus, yaitu jalan Tuhan.

Dengan demikian, yang berkewajiban berdakwah adalah setiap orang yang beriman, tentu saja yang mampu dan memiliki pemahaman yang “benar” tentang Islam. Dalam hal ini, mengajak teman, keluarga, saudara, dan tetangga kepada kebaikan merupakan salah satu aktivitas dakwah. Namun, harus dipahami bahwa mengajak dalam konteks ini tidak boleh dengan cara memaksa atau bahkan dengan kekerasan. Sebab, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.(QS. al-Baqoroh: 256). Ini sama artinya bahwa manusia hanya diberikan tugas untuk menyeru dan mengajak, dan urusan objek dakwah atau orang yang didakwahi (mad’u) tidak mau mengikuti ajakan seroang yang berdakwah (da’i), maka itu adalah urusan Tuhan.

Sampai di sini bisa ditarik benang merahnya bahwa siapapun mempunyai peluang yang sama untuk menunaikan tugas dakwah yang mulia tersebut. Dalam konteks ini, penulis akan menggambarkan begitu luar biasanya pengaruh buku dalam konteks dakwah Islam.

Sejarah Buku dalam Islam

Di awal Islam lahir, yaitu pada masa Nabi Muhammad Saw., dakwah lewat tulisan (buku) memang tidak populer. Sebab, pada saat itu budaya yang dikenal bangsa Arab adalah budaya menghafal. Dengan kata lain, tulis menulis adalah budayanya orang “bodoh”, yang tidak kuat hafalannya. Sehingga, al-Qur’an dan al-Hadits pun tidak ditulis secara bebas dan masal ketika itu. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperintahkan untuk menulis al-Qur’an oleh Muhammad Saw. Menulisnya pun tidak dengan kertas, melainkan di pelepah kurma, kulit hewan, batu, dan kain-kain tertentu. Bahkan, Rasulullah melarang sahabat-sahabtnya untuk menulis Hadits, karena khawatir akan tercampur dengan wahyu Allah yang turun, al-Qur’an.

Budaya menulis mulai berkembang di Arab ketika masa kholifah Abu Bakar Al-sidiq. Pada saat itu, dengan usulan Umar bin Khatab—karena banyak penghafal al-Qur’an (huffadz) yang meninggal di medan perang—al-Qur’an mulai dibukukan. Sampai pada khalifah Usman Bin Affan, al-Qur’an ditulis secara resmi dan disebarkan beberapa di penjuru Arab.

Pasca itu, pada masa dinasti Bani Umayyah, budaya menulis semakin digalakkan. Hadits yang sebelumnya dilarang Nabi untuk ditulis, akhirnya mulai ditulis, ditulis, dan dibukukan. Ilmu pengetahuan pun pada saat itu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu semakin terlihat pada masa dinasti Bani Abbasiyyah. Ilmuwan-ilmuwan (ulama’) terkenal lahir pada saat itu. Sebut saja, Ibnu Jarir Al-Thabari dengan tafsir Al-Qur’an al-Adzimnya, ahli-ahli Hadits; Imam Bukhari yang terkenal dengan karya “Shahih Bukhari”nya, Imam Muslim dengan Shahih Muslim, Abu Dawud dengan “Sunan Abu Dawud”, Ibnu Majah dengan kitab hadits “Sunan Ibnu Majah”, Al-Tirmidzi dengan “Sunan Tirmidzi”-nya.

Selain itu, ada Ibnu Sina dengan karya menumentalnya “Al-Qanun Fi al-Tib”. Bahkan, sampai sekarang karya tersebut dijadikan sebagi buku pedoman kedokteran di universitas-universitas Eropa dan negara-negara Islam. Al-Ghazali dengan karyanya “Ihya Ulumuddin”. Filosuf Islam yang terkenal, Ibnu Rusyd, juga menulis banyak buku, diantaranya, Bidayatul Mujtahid dan Tahafutut Tahafud. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Indonesia, ulama’ dan tokoh-tokoh Islam juga banyak yang menjalankan dakwah lewat buku. Sebut saja, KH. Hasyim Asyar’i, Nurcholish Madjid, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Quraish Shihab, Amin Rais, KH. Bisri Mustofa, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Sahal Mahfudh, dan lain sebagainya.

Dari uraian-uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa berdakwah dengan buku memang terbukti efektif dalam jangka waktu yang panjang. Buktinya, sampai saat ini buku-buku ulama’ tersebut masih menjadi kajian dan sumber referensi masyarakat, khususnya para akademikus. Tentu saja metode bi al-qalam ini ada kelemahannya, yaitu hanya untuk orang yang mengerti tulis menulis (tidak buta huruf). Untuk menyikapi hal itu, maka perlu metode bi al-lisan. Dalam hal ini, orang-orang yang telah membaca kitab-kitab ulama’ terdahulu, berkewajiban untuk menyampaikannya kepada mereka yang buta huruf.

Dalam rangka memperingati hari buku, maka kesadaran untuk membaca dan mengkaji buku-buku ilmuwan terdahulu adalah harga mati yang harus disosialisasikan secara masif. Atau bahkan, menuliskan pemikiran dan pemahan tentang Islam dan dinamika kehidupan ke dalam sebuah buku adalah sebuah kebijaksanaan (hikmah). Sebab, dengan begitu dakwah Islam akan semakin sukses dan menyeluruh. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Post a Comment

0 Comments