Oleh M Arif Rohman Hakim
Kekayaan alam yang melimpah tidak serta merta
menjadikan negara Indonesia menjadi kaya. Kekayaan alam itu, secara langsung
akan mendorong seorang yang tak bertanggung jawab untuk mengeksplorasi hasil
bumi yang ada. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kepunahan bioresources
(kekayaan jenis flora, hewan, dan mikroorganisme lainnya). Selain mendorong
terjadinya kepunahan bioresource, dampak paling kronis yang akan dialami negeri
ini yaitu berkembangnya kompetensi berkorupsi. Kedua faktor dasar inilah yang
menjadikan Indonesia masih istiqomah didasar kemelaratan.
Ditengah kekayaan alamnya yang melimpah, seharusnya
Indonesia mampu menjadi negara dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya paling
merata dn tinggi di dunia. Namun, ternyata Indonesia masih dihuni oleh
masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Tentu saja, ini bertolak
belakang dengan melimpahnya sumber daya alam yang tersedia. Jika dipikir secara
rasional, tentunya negara yang memiliki kekayaan alam melimpah, pasti
masyarakatnya akan hidup sejahtera.
Setelah ditelisik dengan saksama, sebagian besar
keuntungan dari pengolahan hasil bumi negeri ini, ternyata dinikmati oleh para
pemilik modal yang kebanyakan berasal dari luar negeri, atau bangsa lain.
Sungguh miris negeri ini, memiliki banyak kekayaan alam tetapi hanya dapat
membanggakan dan mengolahnya saja, tanpa bisa menikmatinya. Jika hal ini
dibiarkan terus-menerus maka lama-kelamaan bangsa ini akan dikuasai oleh
investor-investor luar negeri, yang nantinya mampu menjadikan bangsa ini
mengalami degradasi perekonomian.
Padahal, apabila Indonesia mau bersungguh-sungguh,
diyakni bisa mengolah hasil buminya sendiri. Masalahnya, pemerintah seakan
mendiamkan saja masalah tersebut. Kebisuan pemerintah ini seakan menyiratkan
bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan
bersama. Mengapa demikian? karena jika hasil bumi di Indonesia dikelola oleh
investor luar negeri, pemerintah akan mendapatkan banyak kucuran dana lewat
pajak dan juga penanaman modal.
Sebagai negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM)
unggul seperti BJ Habibie dan lain-lain, seharusnya Indonesia memberikan
kepercayaan kepada putera bangsa untuk berinovasi, bukan malah mendoktrin
mereka untuk menjadi pekerja di perusahaan negeri sendiri untuk orang asing.
Habibie sebagai teknokrat dan inovator telah malahirkan Habibie-Habibie di
negeri ini. Pada tempatnya dibuatkan sebuah wadah (perusahaan) tersendiri untuk
mengolah hasil bumi dalam negeri, bukan BUMN yang ada sekarang. Bisa
dibayangkan jika SDA di Indonesia dikelola oleh putra bangsa, pasti akan banyak
menciptakan lowongan pekerjaan. Sehingga, jumlah masyarakat yang berada dibawah
garis kemiskinan pun bisa dikurangi sedikit demi sedikit.
Sebagai negara dengan tingkat SDA yang tinggi,
seharusnya Indonesia mampu membiayai putera-puteri negeri dalam menuntut ilmu
tanpa banyak biaya. Namun apa yang terjadi, pemerintah justru selalu mengambil
uang rakyat itu dengan berbagai dalih atas nama untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat. Hal inilah yang sering menjadikan bangsa lain selalu menertawakan dan
memandang remeh Indonesia.
Penyebab masih terbelakangnya Indonesia yang terlihat
paling konkret yaitu tidak adanya korelasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Pemerintah sebagai elemen tertinggi dari masyarakat seharusnya mampu membuat
interelasi dengan masyrakat awam. Namun pada kenyataannya pemerintah cenderung
menutup diri dengan masyarakat atau bahkan sebaliknya. Sikap saling apatis
inilah yang setiap harinya selalu membangunkan jurang pemisah yang semakijn
dalam.
Dampak kedua dari ketiadaan interelasi antara
keduanya, juga bisa dilihat dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sering
sekali kebijakan yang dibuat oleh pemerintah merugikan masyarakat menengah
kebawah. Contoh kecilnya, ketika tiba musim tanam padi, harga alat-alat dan
obat-obatan pertanian melonjak drastis. Namun, ketika panen tiba, nilai jual
padi akan turun sangat drastis.
Kelucuan negeri ini terlihat dari tingkah laku para
pejabatnya. Sebagai pemimpin yang telah dipilih rakyat untuk mengemban tugas
kekhalifahan, pemerintah seharusnya mampu mengayomi masyarakat dari segi
ekonomi, pendidikan, dan keamanan. Namun, dalam implementasinya, yang sekarang
dialami oleh rakyat justru sebaliknya. Dimana-mana terjangkit wabah penyakit
busung lapar, korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin santer diberitakan, serta
banyak terungkapnya kasus-kasus terorisme.
Oleh karena itu, harus ada solusi. Hal pertama yang
harus diselesaikan pemerintah untuk menangani masalah ini adalah, memperbaiki
hubungan dengan masyarakat. Jika pemerintah mampu mencuri kepercayaan dari
rakyat, jelas semua bentuk kebijakan akan mudah diterima rakyat. Namun,
pemerintah harus mengingat satu hal, bahwa citra pemerintah di masyarakat sudah
nol, artinya rakyat sudah tidak lagi percaya terhadap pemerintah.
Langkah kedua yaitu, memberikan kesempatan kepada
putra bangsa untuk mencoba mengolah sendiri sumber daya alam yang ada. Jika SDA
negeri ini dikelola oleh pemiliknya sendiri, maka pendapatan bangsa ini akan
bertambah terus-menerus. Hal ini juga akan mengerem kegiatan untuk mengimpor
barang dari luar negeri, bahkan dapat dikatakan bangsa ini akan mampu
mengekspor barang-barang keluar negeri dengan kwalitas siap bersaing di pasar
internasional.
Langkah ketiga yaitu pembentukan karakter remaja.
Dalam hal ini, dimasukannya pendidikan karakter dilingkup pendidikan diharapkan
mampu mencetak generasi yang siap bersaing dengan luar negeri. Jika ketiga hal
diatas dapat dipenuhi secara intensif, maka bangsa ini sedikit demi sedikit
mampu merangkak dari jurang kemelaratan dan bisa sejahtera. ***
Penulis adalah penerima beasiswa tahfidz di Monas
Institut untuk IAIN Walisongo Semarang, dan aktivis HMI Komisariat Dakwah
IAIN Walisongo Semarang.
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=336486
0 Comments