Guru merupakan salah satu komponen terpenting dalam pendidikan. Mereka bahkan mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, dewasa ini kemulian guru terlihat mulai hilang, ketika seorang guru hanya berorientasi pada material saja. Ironisnya, banyak guru yang tidak mengetahui fungsinya sebagai pendidik. Mereka hanya menjadikan guru sebagai sebuah profesi. Parahnya lagi, para guru mengajar muridnya hanya sekedar formalitas saja.
Tidak mengherankan, jika banyak murid-murid yang berperilaku jauh
menyimpang dari nilai dan norma yang ada. Memang tidak mudah menjalankan
peran profetik itu. Kadang, konsentrasi meraka terbelah dengan
konstrentasi memenuhi kebutuhan hidup. Wajar saja, jika guru juga menginginkan hidup wajar sesuai standar
manusia kebanyakan, yaitu menginginkan pemenuhan materi duniawi. Tarikan
pemenuhan kebutuhan inilah yang menyebabkan guru saat ini menomorduakan
tugasnya.
Sebenarnya, pemerintah sudah mengantisipasi adanya penomorduaan tugas
guru ini, yaitu melalui stratifikasi. Dengan sertifikasi ini, guru
diharapkan bisa memenuhi kebutuhan mereka dan bisa fokus untuk mengajar
anak didiknya. Selain itu, sertifikasi juga difungsikan untuk
meningkatkan kualitas guru, agar mereka bisa mengajar lebih profesional.
Setelah sertifikasi, status guru menjadi naik, bahkan seorang dokter
bisa saja kalah secara material.
Namun, usaha pemerintah ini tampaknya tidak memenuhi hasil yang
diharapkan. Paradigma hedonistis dan matetialistis yang telah
menjangkiti hampir sebagian besar guru menjadi penyebabnya. Dalam
pandangannya, ia selalu merasa kurang, selalu saja tidak puas dengan apa
yang didapatkan. Imbalan besar yang dimaksudkan agar meningkatkan kualitas pendidikan
Indonesia menjadi sia-sia, karena sifat selalu merasa kurang tersebut.
Orientasi utama kebanyakan guru saat ini hanya pada profesi, sehingga
hanya untuk meperoleh materi saja. Padahal, peran guru jika diukur
dengan materi saja tidak cukup. Guru lebih tinggi derajadnya daripada
hanya sekedar diukur dengan materi.
Bahkan, Plato mengatakan, mereka adalah “para pemilik warung yang
menjual barang-barang ruhani”. Artinya, guru yang hanya mengharapkan
materi tidak ada bedanya dengan sofi-sofis pada zaman Yunani Kuno. Para
sofis itu memberikan pendidikan hanya sekedar untuk mencari materi baik
berupa uang maupun barang.
Pekerjaan Mulia
Menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Sebab,
seorang guru yang mendidik muridnya dengan baik dan benar, serta dengan
dilandasi keikhlasan hati, akan mengantarkan seorang murid menjadi baik
dan benar juga. Seorang guru dikatakan berhasil, jika murid-muridnya
mampu mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupan nyata. Namun, menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah, karena ia
adalah tauladan dan cermin bagi murid-muridnya. Dalam falsafah Jawa kata
“guru” merupakan akronim dari digugu lan ditiru, maksudnya seorang guru
harus dapat dipercaya dan dicontoh. Ini berarti bahwa seorang guru
harus mampu menjadi panutan bagi peserta didiknya
Seorang guru akan menyandang status terhormat, yaitu sebagai pewaris
para nabi, jika ia berhasil menjalankan aktivitas profetik dengan baik
dan benar. Aktivitas profetik sebagaimana yang dilakukan oleh nabi-nabi
terdahulu, yang selalu ikhlas dan gigih dalam mengajarkan ilmu kepada
umatnya, serta tidak mengaharapkan imbalan berupa apapun. Oleh karena itu, seorang guru harus bisa menjadi “nabi” yang selalu
siap berjuang untuk kemaslahatan umat. Jika tugas itu bisa dijalankan
dengan baik, maka besar kemungkinan bangsa ini akan keluar dari
keterpurukan. Harus diakui, maju atau tidaknya suatu bangsa salah
satunya karena pendidikan yang maju.Seseorang guru tidak hanya harus memenuhi kapasitas keilmuawannya
saja, tetapi juga mewujudkannya dalam bentuk tindakan. Sebab, jika
pengetahuan itu tidak diimplementasikan, maka sama saja tidak ada
fungsinya. Seperti pepatah arab mengatakan, “ilmu tanpa diamalakan
seperti pohon yang tidak berbuah”.
Namun, jangan sampai ilmu pengetahuan itu menjadi perusak dunia.
Dengan demikian, itu semua tergantung “pemiliknya”. Oleh karena itu,
guru harus mendorong murid-muridnya untuk untuk melakukan tindakan nyata
yang didasarkan kepada akhlak mulia, agar tidak digunakan dalam hal
negatif. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2005 (Tentang Guru dan
Dosen), bahwa guru mempunyai tugas mendidik, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Panggilan Mendidik
Perlu digaris bawahi, ajaran seseorang tidak akan bisa melakukan
perbaikan jika tidak didasari dengan keikhalasan. Sebab, yang keluar
dari mulutnya tidak dibarengi dengan hati nurani. Jadi, Perbaikan hanya
akan bisaberhasil jika didasari dengan keikhlasan hati nurani. Agar ini tidak berlarut-larut, diperlukan adanya reorientasi
penanaman paradigma bahwa menjadi guru itu adalah aktivitas profetik
yang sangat mulia. Apabila, niat itu sudah benar, maka akan dengan
sendirinya materi (uang) akan mengikutinya. Yang terpenting, aktivitas mendidik seorang guru haruslah dilakukan
atas dasar panggilan hati, bukan karena keterpaksaan. Sistem rekruitmen
guru yang selama ini tidak profesional harus segera diperbaiki.
Sebab, pada kenyataan, di lapangan banyak guru yang tidak memiliki
latar belakang pendidikan. Ironisnya lagi banyak dari mereka adalah
sarjana-sarjana yang tidak mendapatkan pekerjaan yang kemudian terpaksa
memilih profesi guru sebagai pilihan terakhir. Meski mereka memiliki kapasitas intelektual yang memadai, tapi tidak
memiliki panggilan untuk menularkan ilmunya, maka tidak akan bisa
menjalankan fungsi sebagai pewaris para nabi secara optimal dan total. Oleh karena itu, perlu penataan kembali mekanisme perekrutan guru
yang ada, agar mendapatkan sosok guru yang benar-benar memiliki
panggilan hati, bukan karena terpaksa. Jika guru sudah memiliki
panggilan hati untuk mengajarkan ilmunya, ditambah kapasitas intelaktual
yang memadai, maka ia akan lebih profesional dalam mengajar.
Dan akan bisa dipastikan pendidikan di Indonesia akan mengalami
perubahan kearah yang lebih baik. Peran semua elemen untuk menciptakan
pendidikan berkualitas sangat diperlukan, baik dari pemerintah maupun
dari masyarakat kita sendiri. Semua itu akan bisa dilakukan jika
didasari dengan niat yang tulus dan ikhlas. Wallahu a’lam bi al-shwab.
0 Comments