Subscribe Us

header ads

Ayahku Bukan Pemimpin

Belajar kelompok lagi?”

“iya bun, ayah pasti belum pulang”
Wajah wanita paruh baya itu berubah pucat mendengar pertanyaan anak bungsunya yang sedari tadi ia tunggu di ruang tamu sendirian,  dengan hanya televisi sebagai teman.  Wajah datar yang telah biasa dengan keadaan itu hanya beranjak meninggalkan wajah pucat itu ke kamarnya
.
Aroma telor dadar tercium mengelilingi setiap sudut dapur beserta hidung-hidung peraba bermacam rasa. Matahari seperti biasa menampakkan diri dengan kehangatannya. Seperti halnya keadaan diatas meja makan disetiap waktu sarapan. Sosok pemimpin yang harusnya menjadi kebanggaan seorang wanita tegar dan 2 bidadari yang mulai tumbuh itupun pagi itu hadir diantara mereka.
“ehem. . ayah”
Dengan menahan nafas sedikit sesak Rosi, sosok wanita tegar itu mencoba mengatur nafas melarutkan ketegangan di meja makan.
“kemaren tatia yang nyaranin bunda masak cumi kering ini loh yah, katanya sih spesial buat ayah” lanjutnya dengan sumringah menyendok cumi-cumi kering itu kedalam piring Hendrik, laki-laki tinggi, tegap, sawo matang, dengan pasangan jas hitam halus dipadu dengan dasi putih polos disampingnya.
“Tatia harus berangkat lebih awal!”
Gerah dan lelah melihat sikap ayahnya serta perasaan iba pada bundanya, murid kelas 2 SMA ini yang memiliki paras wajah yang cantik dengan rambut panjang dan hitam, kulitnya yang kuning langsat dan postur tubuhnya yang tinggi mengikuti sosok ayahnya itu beranjak pergi dengan alasannya.
“loh, kamu kan belum sarapan,” seru bunda tatia
“Sebagai ketua OSIS memang harus menjadi panutan buat siswa-siswa yang lainnya,” ujar laki-laki paruh baya itu yang mencengangkan sosok wanita tegar disampingnya dan meydin seorang perempuan dengan paras manis dan kacamatanya yang telah beranjak dewasa itu.
“huh. ., sampai kapan lelucon ini berakhir!” sela meydin dengan menenggak minumannya dan menggeser kursinya kebelakang, berdiri meninggalkan meja makan.
“lelucon?!”
“iyah, lelucon yang ayah buat selama ini!”
“lelucon apa yang kamu maksud?!”
“ironis sekali seorang direktur ternama di perusahaan besar tidak pernah tau apa yang seharusnya diperhatikan!”
“Meydin!!” bentak Rosi pada putri sulungnya merasa keterlaluan dengan ucapannya
“Biarkan saja, biarkan dia bicara sesuka hati” sambung Hendrik
“Meydin tak akan membuang waktu untuk seorang yang tidak bisa menerima dan  memahami orang lain!”
Meydin meraih tas dan jaketnya kemudian beranjak pergi menghilang diantara pandangan Ayah dan Bundanya.
“nafsu makan Ayah berubah!” ujar Hendrik menarik nafas  panjang dan sedikit tak percaya dengan sikap dari Meydin.
“Ayah. .” lirih Rosi dengan menarik tangan Hendrik mencoba menjelaskan maksud dari sikap putri sulungnya yang duduk di bangku perkuliahan, sehingga merasa telah dewasa. Namun, Hendrik melepaskan tangannya, menarik tas kerjanya diatas kursi dan pergi tanpa kata.
      Pagi kota jakarta dengan kemacetannya, Hendrik duduk terdiam memikirkan perdebatan yang baru terlewati beberapa menit yang lalu antara dirinya dan putri sulungnya. Masih mengapung arti dari kata-kata putrinya. Sampai tiba diperusahaan besar yang dipimpinnya, Dia mencoba memalingkan sedikit semua yang ada difikirannya. Dengan memasangkan kebijaksanaannya dan ketampanan serta senyumnya pada setiap karyawan yang menyapanya. Gendang telinganya mengharuskan kedua kakinya untuk berhenti di lorong  ruang kerja para karyawannya. Ketika beberapa dari karyawannya menyebutkan namanya dengan mengaitkan sedikit kata-kata yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
“kenapa juga si Dina keluar darisini? Itu juga alasannya karna tidak sreg dengan kepemimpinan yang sekarang”
“dulu, kepemimpinan sebelumnya Dia bilang tidak pernah menghadapi masalah, namun sekarang Dia sering sekali mengalami masalah dalam kerjanya”
“tapi sayang sekali, Diakan sudah lama kerja disini”
“iyah, tapi bukan hanya Dina saja yang kurang sreg dengan kepemimpinan pak Hendrik. Saya juga merasa begitu”
“iyah, pak Hendrik hanya bisa menuntut, berteori tak bisa menyontohkan apa yang menjadi tuntutannya”
“bulshit dengan janji-janjinya dulu”
Bagaikan jalan di atas trotoar, dikejutkan oleh bercakan darah dan tubuh yang remuk tertabrak kontainer didapan mata. Hendrik tercengang menelan ludah dan menahan sesak, merapikan jas dan dasinya kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya.
“Saya bukan pemimpin” lirih Hendrik dalam hati menyenderkan tubuhnya diatas kursi kerjanya dengan penuh kekecewaan akan dirinya sendiri.

By: Tuti Widya

Post a Comment

1 Comments