Sudah
tidak asing lagi, ketika mendengar bencana alam seperti banjir, tanah
longsor, dan angin puting beliung yang melanda DKI Jakarta. Bencana
seperti itu bukan pertama kali melanda, namun sejak 2004 silam Indonesia
digugupkan dengan beberapa bencana alam yang melanda.
Salah satunya tsunami di Aceh yang memakan ratusan korban. Kini negara Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana banjir dan tanah longsor. Banjir di DKI Jakarta merupakan banjir yang memiliki kapasitas tertinggi daripada tahun kemarin. Hal disebabkan meluapnya sungai yang berada di sekitar daerah tersebut sehingga tanggul yang berada di bantaran pun cebol.
Tak hanya di Jakarta, beberapa kabupaten/ kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Demak, Kudus, dan Pati juga menjadi korban kemurkaan alam. Hampir 8.578 desa/ kelurahan yang dipetakan sebagai rawan banjir. Skala kerusakannya juga tak bisa dipandang sebelah mata. Ketika bencana melanda, jelas pihak yang merasa dirugikan adalah masyarakat agraris.
Mereka terpaksa berhenti bekerja karena cuaca yang tidak memungkinkan sehingga kondisi keuangannya memburuk. Sayangnya banyak pemimpin kita saat ini. menjadikan jabatan sebagai formalitas. Selain itu, jabatan juga diibaratkan sebagai jembatan penghubung untuk memperoleh perhatian dari khalayak.
Hal semacam itu, merupakan sebuah pencitraan. Misalnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, selalu tebar kehangatan terhadap masyarakat dengan terjun langsung untuk memperbaiki keadaan Jakarta. Seketika itu, masyarakat antusias menggembor- gemborkan bahwasanya Jokowi memang layak menjadi presiden pada tahun yang akan datang. Namun ketika musibah banjir kembali melanda DKI Jakarta. Jokowi sepertinya gagap untuk mengatasinya.
Gubernur DKI Jakarta tersebut masih kebingungan untuk mencari solusi atas problematika ini. Karena yang selama ini ia lakukan hanyalah sebuah pencitraan untuk sebuah kedudukan. Oleh karena itu, kita harus melek bencana. Baik itu bencana alam atau bencana negara.
Salah satunya tsunami di Aceh yang memakan ratusan korban. Kini negara Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana banjir dan tanah longsor. Banjir di DKI Jakarta merupakan banjir yang memiliki kapasitas tertinggi daripada tahun kemarin. Hal disebabkan meluapnya sungai yang berada di sekitar daerah tersebut sehingga tanggul yang berada di bantaran pun cebol.
Tak hanya di Jakarta, beberapa kabupaten/ kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Demak, Kudus, dan Pati juga menjadi korban kemurkaan alam. Hampir 8.578 desa/ kelurahan yang dipetakan sebagai rawan banjir. Skala kerusakannya juga tak bisa dipandang sebelah mata. Ketika bencana melanda, jelas pihak yang merasa dirugikan adalah masyarakat agraris.
Mereka terpaksa berhenti bekerja karena cuaca yang tidak memungkinkan sehingga kondisi keuangannya memburuk. Sayangnya banyak pemimpin kita saat ini. menjadikan jabatan sebagai formalitas. Selain itu, jabatan juga diibaratkan sebagai jembatan penghubung untuk memperoleh perhatian dari khalayak.
Hal semacam itu, merupakan sebuah pencitraan. Misalnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, selalu tebar kehangatan terhadap masyarakat dengan terjun langsung untuk memperbaiki keadaan Jakarta. Seketika itu, masyarakat antusias menggembor- gemborkan bahwasanya Jokowi memang layak menjadi presiden pada tahun yang akan datang. Namun ketika musibah banjir kembali melanda DKI Jakarta. Jokowi sepertinya gagap untuk mengatasinya.
Gubernur DKI Jakarta tersebut masih kebingungan untuk mencari solusi atas problematika ini. Karena yang selama ini ia lakukan hanyalah sebuah pencitraan untuk sebuah kedudukan. Oleh karena itu, kita harus melek bencana. Baik itu bencana alam atau bencana negara.
MAIRINA MIAWATI Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang
0 Comments