Subscribe Us

header ads

Problematika Dinamika Pendidikan Indonesia

Oleh: Salmah*

“Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)”

Itulah rumusan pengertian pendidikan yang dinyatakan Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia. Yakni pendidikan berperan sebagai penuntun pertumbuhan manusia sejak lahir, dalam interaksi dengan lingkungan masyarakat maupun interaksi dengan alam. Namun, apa kenyataannya?

Kualitas Pendidikan Indonesia semakin hari semakin rendah atau bahkan semakin buruk. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) meneliti tentang kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific. Hasilnya sunnguh mencengangkan. Bagaimana tidak? Indonesia menempati peringkat ke 10 dari 14 negara. Sedangkan kualitas para guru di Indonesia menempati level ke 14 dari 14 negara berkembang.

Bagi orang-orang yang kritis terhadap pendidikan, pasti akan menyadari bahwa pendidikan itu sangatlah penting. Namun, sampai sekarang kondisi dunia pendidikan masih terang-terangan dikatakan dalam keadaan “sakit parah”. Lemahnya tenaga pendidik dalam menggali masalah dan potensi obyek yang dididik, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kualitas pendidikan di Indonesia.

Adapun faktor lain yang menyebabakan semakin terpuruknya kualitas pendidikan yaitu yang pertama adalah buruknya kulitas fisik sarana pendidikan. Banyak sekali gedung sekolah-sekolah dan perguruan tinggi/universitas-universitas yang mengalami kerusakan, persediaan buku perpustakaan yang belum komplit, sarana media belajar yang tidak memadai menurut perkembangan zaman, dan bahkan vasilitas dalam laboratorium yang tidak memenuhi standar isi laboratorium. Yang lebih parah, masih ada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi/universitas-universitas yang belum memiliki gedung sendiri, bahkan tidak memiliki vasilitas-vasilitas lain yang seharusnya itu ada dalam sarana fisik pendidikan.

Yang kedua, rendahnya kualitas para pendidik. Kondisi para pendidik di Indonesia juga bisa dikatakan “memprihatinkan”, perlu perhatian khusus untuk menangani kondisi para pendidik tersebut. Masih banyak para pendidik yang belum memiliki standar profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Seperti yang tercantum dalam UU No 20/2003 bab XI tentang pendidik dan tenaga kependidikan, lebih tepatnya terdapat dalam pasal 39 ayat 2 yang berbunyi “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Buruknya kualitas para pendidik disebabkan karena pemerintah kurang perhatian dengan kondisi mereka dalam upaya meningkatkan profesionalisme mereka. Tenaga pendidik bukan satu-satunya penentu keberhasilan pendidikan, tetapi sistem pengajaranlah yang dapat menentukan keberhasilan pendidikan.

Yang ketiga, rendahnya kesejahteraan tenaga pendidik. Rendahnya kualitas tenaga pendidik juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kesejahteraan tenaga pendidik. Sedangkan tingkat kesejahteraan pendidik sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Terus terang saja, masih banyak tenaga pendidik yang melakukan pekerjaan sampingan. Hal itu disebabkan karena pendapatan mereka yang rendah.

Yang keempat, rendahnya prestasi peserta didik. Akibat tidak memadainya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru, prestasi peserta didik pun dapat dikatakan “labil”, keadaannya bisa mengalami fluktuasi tergantung merendahnya atau meningkatnya factor-faktor tersebut.
Yang kelima, tidak meratanya kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar dan pendidikan usia dini. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Diperlukan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

Yang terakhir, biaya pendidikan mahal. Untuk bisa mendapatkan pendidikan yang unggul dan bermutu itu dianggap mahal. Banyak masyarakat yang menjustifikasikan pendidikan seperti itu.Mahalnya biaya pendidikan dari pendidikan dini hingga Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin tidak memilih pilihan lain kecuali “tidak bersekolah”. Karena mereka merasa keberatan untuk membayar pendidikan tersebut.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dapat dengan cara mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Dapat juga mengatasi masalah yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat segera bangkit dari keterpurukannya, supaya dapat menciptakan generasi-generasi baru yang lebih berkualitas, berkepribadian pancasila dan bermoral tinggi.


*Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment

0 Comments