Oleh:
Mokhamad Abdul Aziz
Ketua Umum
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Dakwah Walisongo Semarang Periode
2013-2014
Penyelenggaraan Pemilu legislatif 2014 tinggal menghitung hari. Para caleg
dan partai pun semakin gencar melakukan kampanye politik kepada masyarakat.
Selain mereka menginginkan suara rakyat jangan sampai ke caleg atau partai
lain, harapannya partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014 ini lebih baik lagi.
Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, golongan putih (golput) masih menjadi
hantu yang menakutkan bagi penyelenggara dan kontestan Pemilu. Dari pemilu ke
pemilu, angka golput selalu meningkat. Pada Pemilu 1999, tingkat partisipasi
masyarakat menunjukkan angka 92,74 persen. Sedangkan di Pemilu 2004, angkat
partisipasi itu turun menjadi 84,07 persen. Tingkat partisipasi Pemilu 2009
semakin menurun, yaitu sebesar 70,99 persen.
Tentu ini tidak bisa dianggap enteng, penurunan tingkat partisipasi politik
di setiap pemilu rata-rata 10 persen. Itu artinya, di Pemilu 2014, angka
tersebut diprediksi akan semakin turun, kira-kira menjadi 60 persen. Apalagi
jika melihat kinerja pemerintahan SBY saat ini, yang tentu sangat berpengaruh
pada kepercayaan publik, maka diperkirakan akan ada banyak orang yang a priori
terhadap penyelenggaraan Pemilu 9 April nanti. Ini seharusnya menjadi cambuk
bagi pemerintah dan seluruh elemen negeri ini, terutama Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang notabene adalah penyelenggara Pemilu dan partai politik yang
bertanggung jawab atas menarik tidaknya sebuah pemilu. Satu elemen yang
kemungkinan juga dikawatirkan akan memilih jalan golput adalah para mahasiswa,
terutama kepada mereka yang menjadi pemilih pemula pada Pemilu 2014 ini.
Mahasiswa
Harus Nyoblos
Harur diakui bahwa golput secara legal-formal memang diperbolehkan. Sebab,
dalam konstitusi Indonesia, memilih dalam pemilu merupakan hak, bukan
kewajiban. Itulah kenapa orang ada yang memilih menjadi golput saat pemilu,
karena mereka memilih menggunakan hak mereka untuk tidak memilih. Berbeda jika
memilih dalam pemilu dijadikan sebagai kewajiban. Tentu orang akan terpacu—mau
tidak mau—menunaikan kewajiban itu. Inilah yang diterapkan di Australia, negara
tetangga Indonesia. Jika ada orang yang tidak memilih pada saat pemilu, maka
ada sanksi yang harus diterima. Konsekuensi logisnya adalah masyarakat akan
berlomba-lomba datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya, meskipun ada
kemungkinan di TPS ada yang hanya mencoret-coret atau bahkan merobek surat
suara pemilu. Ini adalah soal legitimasi memilih. Jika angka golput di Pemilu
2014 meningkat lagi, maka meniru Australia adalah langkah yang bijaksana.
Selain faktor konstitusi di atas, ada dua hal yang menyebabkan mahasiswa
enggan menggunakan hak pilinya. Pertama, mahasiswa buta politik. Dengan
kata lain, mahasiswa, teruama yang baru pertama kali memiliki hak dalam pemilu,
tidak memiliki pengetahuan yang cukup soal pemilu, politik, negara, dan
pentingnya kepemimpinan nasional. Akibatnya, mereka menganggap pemilu bukanlah
agenda yang penting bagi diri mereka. Padahal, pemilu merupakan agenda suksesi
politik yang akan menentukan nasib bangsa ke depan. Dengan adanya partisipasi
baru dari masyarakat, maka semangat demokratisasi dalam membangun sebuah negara
akan terbangun. Inilah yang dimaksudkan sebenarnya kenapa mesti ada pemilu.
Lemhanas mengatakan bahwa secara strategis, politik di Indonesia mengandung dua
unsur, yaitu kepemimpinan nasional dan partisipasi masyarakat. Sehingga,
keduanya harus sama-sama berjalan, sehaluan dengan cita-cita bangsa indonesia.
Jika melihat status mahasiswa, yang menempati posisi tertinggi dalam
konteks pendidikan di Indonesia, maka buta politik adalah hal yang sangat
disayangkan. Seharusnya dengan posisinya yang demikian penting, karena dianggap
paling tahu oleh masyarakat, maka mahasiswa sejatinya yang membantu pemerintah,
dalam hal ini adala KPU, dan partai politik untuk melakukan pendidikan politik
kepada seluruh elemen masyarakat, agar mengerti dan paham betul betapa rakyat
sangat dibutuhkan negara dalam konteks Indonesia, karena notabene kedaulatan
berada di tangan rakyat.
Kedua, mahasiswa memang
memilih untuk tidak menggunakan haknya, karena memang beraliran demikian. Pada
faktanya, ada kelompok-kelompok, bisa agama, ras, suku, atau adat, yang
menganggap bahwa demokrasi adalah produk haram, sehingga memilih dalam pemilu
merupakan perbuatan yang harus dihindari. Mereka menganggap bahwa golput
merupakan ideologi mereka. Selain itu, ada mahasiswa yang sengaja tidak memilih
karena tidak ada sosok yang dpercayai mampu membawa perubahan. Padahal,
meskipun begitu, diantara orang yang ia anggap tidak mampu itu tetap ada yang
harus mengurusi negari ini. Sebab kehidupan bernegara harus tetap berjalan,
sekalipun tidak ada pemimpin yang ideal.
Mahasiswa yang termasuk dalam kelompok ini biasanya cenderung apriori
terhadap nasib bangsa dan negara. Sebab, negara dibentuk dai sistem demokrasi
yang mereka anggap najis. Padahal, demokrasi hanyalah sebuah jalan untuk
mewujdukan cita-cita luhur para founding father negara kita. Jika bersikap
apriori terhadap negara, untuk apa ada negara? Lebih baik keluar dari negara
ini dan mencari tempat yang membolehkannya untuk hidup semaunya sesuai dengan
keyakinannya, tanpa harus memikirkan negara. Dalam konteks ini, mau tidak mau,
mahasiswa harus sadar bahwa perannya dalam negara sangatlah penting, sehingga
harus dijalankan betul.
Selain dua faktor di atas, sebenarnya ada hal-hal teknis yang menyebabkan
mereka tidak bisa memilih, yang kemudian juga disebut golput. Faktor itu antara
lain, masalah administrasi—misalnya ternyata mahasiswa tidak terdaftar dalam
daftar pemilih tetap (DPT), padahal usianya sudah lebih dari 17 tahun; dan
mahasiswa tidak bisa memilih karena tidak berada di TPS di mana ia tercatat
dalam DPT. Dengan kata lain, mahasiswa sedang berada di luar kota atau provinsi
yang jika mengurus kepindahan pun akan sulit, sehingga membuatnya malas. Itulah
yang harus diantisipasi oleh pemerintah (KPU), juga oleh mahasiswa itu sendiri.
Oleh sebab itu, mahasiswa harus memberikan gebrakan kolektif menolak
golput, agar pemilu punya lagitimisai yang kuat dan menghasilkan para pemimpin
hebat. Mahasiswa dilarang golput. Yang boleh golput hanya orang gila yang tidak
tahu pemilu, politik, dan pemimpin yang baik. Mahasiswa harus tampil di depan,
dalam konteks perpolitikan Indonesia, agar nantinya menghasilkan kebijakan yang
progresif dan pro terhadap rakyat, terutama rakyat kecil. Wallahu a’lam bi
al-shawaab.
0 Comments