Oleh: Mokhamad Abdul Aziz
Pegiat Center for Election and Political Party (CEPP) IAIN Walisongo Semarang
“Pemilih muda
harus cerdas dalam memilih”. Kalimat itulah yang selalu diteriakkan oleh
seluruh elemen yang hadir pada acara Rock The Vote Indonesia di IAIN Walisongo
Semarang, Rabu (19/3). Acara yang diselenggarakan oleh Center for Election and Political Party (CEPP) IAIN Walisongo Semarang yang berkerja sama
dengan Direktorat Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) pada Kemendagri dan
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Acara itu merupakan rangkaian kegiatan yang
diinisiasi CEPP FISIP UI dalam melakukan sosialisasi pemilu kepada para pemuda di
45 perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Pada Pemilu
2014 kali ini, data terbaru yang dirilis KPU menunjukkan bahwa kuantitas
pemilih pemula di Pemilu 2014 cukup signifikan. Kelompok pemilih berusia 17-21
tahun jumlahnya mencapai 18.334.458 jiwa. Bagi mereka yang berusia 17-21 tahun
itu, memilih dalam Pemilu merupakan pengalaman pertama kali. Sebelumnya, Presiden Direktur Center for Election and Political Party (CEPP), Chusnul Mari’yah
dalam dialog publik di Monash Institute Semarang beberapa waktu lalu,
memperkirakan Pemilu 2014 akan diikuti sekitar 53 juta pemilih muda berusia
17-29 tahun. Jumlah tersebut melebihi dua kali lipat suara Partai Demokrat saat
memenangi Pemilu Legislatif pada 2009. Dengan demikian, suara pemilih muda itu
sangat menentukan hasil Pemilu 2014.
Berdasar dari
data itu, maka yang menjadi hal penting adalah bagaimana membuat mereka yang
memilih untuk kali pertama ini dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik dan
benar. Sebab, yang namanya permulaan atau perdana tentu tidak selalu berjalan mulus.
Bahkan, peluang gagal lebih banyak terjadi daripada berhasil. Dalam konteks
ini, suara mereka bisa jadi akan membawa perbaikan bagi bangsa Indonesia ke
depan, karena digunakan secara tepat sesuai dengan idealisme kamu muda. Akan
tetapi, yang terjadi bisa saja justru sebaliknya. Suara mereka malah akan
memperburuk kondisi negara ini, karena hak pilih yang mereka miliki digunakan
secara pragmatis. Yang terakhir inilah yang harus dicegah dan jangan sampai
terjadi terhadap negeri tercinta ini.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto
dalam tulisan berjudul “Memberdayakan Pemilih Muda” menyatakan bahwa setidaknya
ada tiga pelapisan kelompok pemilih muda. Pertama, publik umum (general
public) yang masih awam, tak memiliki perhatian, dan sangat jarang
berinteraksi dengan wacana dan tindakan politik. Sebagian besar mereka
memosisikan politik, terlebih Pemilu sebagai hal di luar dirinya sehingga
menjaga jarak. Kelompok pertama inilah yang harus mendapat pertolongan paling
intensif. Jika melihat realita yang terjadi di lapangan, tentu semua sepakat
bahwa sebagaian besar kaum muda saat ini lebih suka jalan-jalan menggunakan
waktu liburan, daripada hanya sekadar datang ke TPS untuk menggunakan hak
pilihnya.
Dalih mereka beragam. Ada yang memang secara jujur mengakui bahwa dirinya
cuek dengan adanya pemilihan umum, karena menganggap bahwa hasilnya juga akan gitu-gitu
aja. Kelompok yang satu ini merupakan korban keganasan kekuasaan yang tak
kunjung memberikan hasil yang signifikan terhadap kondisi bangsa dan negara
ini. Ada juga yang beralasan tidak akan datang ke TPS jika tidak ada caleg yang
memberikan uang kepada mereka. Ini merupakan kelompok pragmatis yang juga merupakan
korban budaya money politic yang telah terjadi secara turun
temurun di lingkungannya. Biasanya kelompok ini merupakan kumpulan orang yang
hidupnya tidak seberuntung orang berkecukupan. Mereka memilih menerima uang,
meski hanya 50 ribu rupaih saja, daripada harus menggantungkan hidupnya kepada
pemimpin yang jika mereka menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu juga tidak akan
bisa mengubah nasib mereka. Pemuda-pemuda yang seperti inilah yang harus
diselamatkan dan diberikan pencerahan agar tidak salah paradigma dan cara
berpikirnya.
Lapis kedua adalah kaum muda beperhatian (attentive public) yang
mulai kritis, mandiri, independen, anti-status quo, tidak puas dengan
kemapanan, pro perubahan tetapi masih menjaga jarak untuk aktif di politik,
terlebih dalam perebutan kekuasaan. Kelompok ini penulis sebut sebagai
kaum muda idealis. Tentu jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan
kelompok lapis pertama di atas. Padahal, ini seharusnya ditempati oleh mereka
yang terpelajar. Dengan berbekal pemahaman dan pengetahuan yang cukup mengenai
negara dan bangsa ini, seharusnya mereka mampu menempati posisi ini. Setidaknya
peduli terhadap perubahan bangsa menjadi lebih baik. Sikap independen (baca: hanief
atau cenderung kepada kebenaran) harus benar-benar dipupuk dalam diri kaum
muda, supaya apa yang generasi yang akan memimpin Indonesia, nantinya tidak
mudah tergoda oleh kemapanan dan kesenangan sesaat di dalam mengurusi bangsa
ini.
Kelompok lapis
ketiga adalah kelompok elite yang selain memiliki karakteristik seperti
lapis beperhatian di atas juga memiliki jiwa, semangat, dan motivasi tinggi
untuk terlibat penuh dalam beragam aktivitas politik. Kelompok ini dengan
sendirinya akan memilih peran mereka masing-masing. Apakah mereka mimilih untuk
melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan atau memilih untuk menjadi pemimpin
imparsial (impartial leader), atau bahkan mereka tetap menjadi follower
(pengikut). Kelompok ini penulis sebut sebagai kaum muda idealis yang
tercerahkan. Dengan potensi yang dimilikinya, para pemuda ini tidak perlu
dimobilisir untuk datang ke TPS. Kelompok pemilih ini oleh Dr. Mohammad Nasih
disebut sebadai pemilih idealis atau pemilih ideologis.
Oleh sebab
itu, kaum terdidik yang paham politik harus
turun ke bawah untuk melakukan sosialisasi kepada pemilih pemula, karena suara mereka
sangat menentukan. Dengan begitu, peluang pemilih pemula untuk menggunakan hak
pilihnya secara idealis dan ideologis akan sangat terbuka. Jika demikian,
pemilu akan menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang berpotensi besar
menujudkan harapan masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam.
Dimuat di harian Metro Riau, 7 April 2014
Dimuat di harian Metro Riau, 7 April 2014
0 Comments