M. Arif Rohman Hakim, Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah Periode 2016-2017
Setiap
tanggal 9 Februari, Indonesia akan selalu dan terus menerus memperingati sebuah
hari yang begitu terasa istimewa. Hari ini merupakan hari yang paling
bersejarah dan berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan manusia, terutama
bagi anak adam yang hidup pada zaman modern seperti saat ini. Pada hari inilah
dikenal sebagai hari lahirnya dunia yang baru, hari yang mampu menjadikan dunia
ini tidak lebih besar dari daun kelor. Hari ini adalah Hari Pers Nasional.
Siebert
Peterson, dalam bukunya Four Theories of The Press, menyatakan bahwa pers
selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam
mana sistem pers itu diterapkan. hal ini mencerminkan sistem pengawasan sosial
dengan hubungan antara orang dan lembaga yang akan selalu diatur. Orang harus
melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi.
Dalam
buku tersebut, Siebert Peterson mengelompokkan teori pers menjadi empat macam,
antara lain teori pers Otoritaria, Komunis, Tanggung Jawab, dan Liberalis.
Selanjutnya, keempat teori pers inilah yang dijadikan acuan dalam semua segi
pers yang ada dibelahan dunia, termasuk Asia dan khususnya Indonesia.
Di
Indonesia teori pers Otoritarian diartikan sebagai teori pers yang menganggap
nilai kebenaran berada di tangan pemerintah. Lembaga-lembaga pers swasta
memiliki hak untuk mendirikan lembaga pers dengan syarat tidak akan
bertentangan dengan pemerintah. Sistem pers yang demikian ini dulunya pernah
diterapkan ketika awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
pada masa pemerintahan presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Teori
pers yang kedua yakni Komunis, yakni teori pers yang mulai berkembang di Rusia.
Sistem pers ini muncul karena adanya penolakan terhadap pemerintahana NAZI.
Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan yang diktator memaksa masyarakat
kecil, terlebih bagi kaum buruh untuk menyuarakan aspirasinya. Dari sinilah
sistem pers ini tumbuh dan berkembang, yaitu sebaga wadah protes kaum buruh
terhadap pemerintahan.
Teori
pers ini muncul sebagai tanggapan dari teori pers Otoritarian. Sistem pers
Otoritarian yang kerap kali digunakan sebagai wadah sosialisasi
kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintahan sering kali berkedok
kebohongan. Kebohongan inilah yang sering kali menjadikan masyarakat menjadi
sadar jika mereka sering ditindas oleh pemerintah. Masyarakat yang sudah merasa
kecewa dengan pemerintah ini kemudian menuntut pemerintah untuk bertanggung
jawab atas apa yang diberitakan. Sistem pers yang demikian ini mampu dijadikan
media komunikasi antara masyarakat dengan pemerintaha tanpa ada satu hal apapun
yang ditutupi.
Teori
pers yang terakhir yaitu teori pers Liberalis. Teori pers ini merupakan
tanggapan dari teori pers tanggung jawab. Dalam pelaksanaannya, teori pers
Tanggung jawab dianggap kurang efektif. Hal ini dikarenakan ketidakadaan sekat
antara pemerintah dengan masyarakat biasa. Alhasil semua kebrobokan yang ada di
pemerintahan bisa dengan mudah diketahui oleh masyarakat. Akibatnya animo
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin besar.
Sistem
pers inilah yang kemudian sering kali diterapkan oleh sebuah negara. Sistem
yang membebaskan semua media untuk mengekspresikan keinginannya tanpa batasan
apapun. Sistem ini lebih mementingkan bagian fiansial, terutama pemasukan yang
akan didapatkan oleh sang media untuk mengeruk keuntungan dari apa yang telah
diberitakan. Dalam sistem ini menekankan bahwa lembaga pers bukanlah media
komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, melainkan media untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya.
Sistem
Pers Pancasila Yang Luntur
Dalam
sebuah negara, tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan keempat teori
tersebut. Dan bahka sebuah negara bisa menciptakan teori persnya sendiri. Hal
ini didasarkan kepada kebutuhan teknologi dan informasi negara tersebut.
Seperti halnya negara yang baru merdeka, maka teori pers yang biasanya
diterapkan adalah teori pers Otoritarian. Hal ini dilakukan untuk memupuk
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang baru berdiri.
Menurut
Anwar Arifin (1992), sistem pers yang diterapkan di Indonesia adalah teori pers
Pancasila. Semangat pers Pancasila ini mencoba untuk mengambil semua kelebihan
yang dimiliki oleh keempat teori pers diatas dan meminimalisir dampak negatif
yang diakibatkannya. Secara gagasan, teori pers ini memang baik, akan tetapi
pada praktiknya, teori pers ini dinilai masih jauh dari yang diharapkan.
Nakalnya
lembaga-lembaga pers yang ada di Indonesia disinyalir menjadi awal mulai
runtuhnya teori pers Pancasila. Banyak media-media yang sudah melepaskan
ideologinya demi uang, bahkan tak jarang yang menjual independensinya. Hal ini
bisa dilihat saat pemilihan presiden 2014. Bagaimana media-media menjadi pendukung
masing-masing calon yang dijagokannya.
Masalah
lain yang sering dialami teori pers Pancasila ini yaitu tingginya rating
tayangan-tayangan yang tidak memiliki nilai pendidikan, seperti sinetron,
infotaiment, iklan, dan lain-lain. di media cetak pun juga tidak jauh berbeda.
Banyak media-media cetak yang mengumbar gambar-gambar tidak senonoh. Parahnya
lagi, banyak media-media Indonesia yang membuat berita palsu demi mengejar
popularitas.
Padahal,
jika kita menengok dari konsep yang digambarkan oleh Anwar Arifin tidak
demikian. Semangat pers yang dulu digalakkan oleh ahli komunikasi ini seakan
sudah mulai termakan usia. Gagasan hanyalah tinggal gagasan, dan kini yang
terpenting adalah uang. Jadi tidak salah jika orang menyebut lembaga-lembaga
pers di Indonesia sebagai lembaga pers komersial.
Untuk
mengembalikan semangat pers Pancasila sebagaimana yang digagas oleh Anwar
Arifin memang tidak mudah. Mengingat sudah menjamurnya dunia infotaiment
Indonesia dengan tayangan-tayangan yang tidak memiliki nilai pendidikan. Akan
tetapi bukan tidak mungkin untuk memperbaikinya atau bahkan membuatnya lebih
baik lagi.
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ali Syari’ati bahwa sejarah yang paling berharga adalah
sejarah masa depan. Sejarah yang bisa terjadi berdasarkan masa kini. Beranjak
dari argumentasi ini, maka perlu adanya perbaikan sistem di dunia pers mulai
dari sekarang. Selain itu, perlu adanya kerja sama antara pemerintah dengan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) untuk
mengawasi setiap tayangan dan pemberitaan yang tidak memiliki nilai, terlebih
nilai pendidikan. Wallahu A’lamu bi Al-Shawab.
Dimuat
di Republika, 9 Februari 2015
0 Comments