|
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyelenggarkan Konggres XXX di
Kota Ambon, yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Februari
2018. Tepat di bulan ini pula, HMI genap berusia 71 tahun. Organisasi mahasiswa
yang didirikan oleh Lafran Pane pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta ini telah
melewati berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Suka dan duka
telah menjadi rasa yang mewarnai jiwa HMI dalam menapaki perjalanannya. Kontribusi
HMI dalam rangka ikut mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa tidak
diragukan lagi, sekalipun pada saat yang bersamaan, evaluasi dan otokritik
terhadap internal organisasi harus tetap dilakukan. Pertanyaannya, di usia yang
ke-71 itu, sudahkan HMI mencapai tujuannya?
Jika diibaratkan sebagai manusia, HMI telah memasuki usia senja.
Usia yang bagi sebagian besar orang dianggap sebagai ‘bonus’. Namun bagi HMI,
usia 71 tahun itu justru menjadi tantangan untuk terus aktif dan berkreasi
dalam mengemban fungsi dan perannya sebagai organisasi perkaderan dan
perjuangan. Usia yang semakin matang itu mestinya menjadikan HMI lebih
berpengalaman dan taktis dalam menetapkan peran-perannya kehidupan berbangsa.
Dalam konteks ini, HMI tetap dinanti kontribusinya, untuk melaksanakan tanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridlai Allah swt.
Sejak awal didirikan, HMI memiliki dua pandangan dalam menetapkan
gerak langkahnya, yaitu visi ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an. Dua tujuan awal
saat HMI berdiri adalah: 1) Mempertahankan
negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. 2)
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam. Dua ruang ini menjadi
garapan yang sampai kini dipertahankan, sekalipun dengan bentuk dan warna yang
mungkin berbeda. Dalam konteks kini, visi itu tetap menjelma menjadi satu
kesatuan dengan gerak langkah HMI, untuk membekali kader-kadernya agar mimiliki
pemahaman yang cukup berkenaan dengan keislaman dan keindonesiaan kita. Isu-isu
nasionalisme-patriotisme, aliran dan sekte-sekte di dalam Islam, hingga
dinamika politik antara keduanya menjadi makanan renyah kader HMI ketika
berdiskusi ria di pojok-pojok kampus saat itu.
Seiring dengan godaan dan dinamika mahasiswa yang kian kompleks,
HMI memiliki tantangan untuk mengikuti student interest dan memenuhi student need sekaligus.
Di satu sisi, HMI harus dapat menarik minat mahasiswa “jaman now” dengan
menyesuaikan keinginan mereka, tetapi juga dalam waktu yang bersamaan juga
harus menjaga agar kualitas kader HMI tidak menurun, dan bahkan harapannya
bisa lebih baik. Memahami student interest dan student need ini
tentu bukanlah perkerjaan yang ringan, apalagi dihadapkan kepada
tantangan generasi milenial. Tetapi bukan berarti nhal ini tidak
mungkin untuk dilakukan. Mau tidak mau, suka tidak suka, jika HMI tetap
ingin mewujudkan tujuan—Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur
yang di ridlai Allah swt.—hal itu harus dilakukan.
Dunia telah menujukkan perubahannya. Wajah zaman yang kini sangat
jauh berbeda dengan jaman saat HMI berdiri. Bersamaan dengan itu, tantangan
mahasiswa kini dan dulu juga jauh berbeda. Mampukah HMI berperan? Bagaimana HMI
menjalankan peran itu? Kemanakah muara HMI nantinya? Pertanyaan-pertanyaan itu
akan terus bertambah seiring dengan keraguan dan harapan bangsa Indonesia
terhadap HMI itu sendiri. Harus diakui, kini manusia dan teknologi begitu akrab
dan romantis, tidak terkecuali mahasiswa. Hampir tidak tampak lagi di
sudut-sudut kampus, mahasiswa yang tidak memegang gadget atau smartphone. Sekarang
sudah mulai sulit ditemukan mahasiswa yang ke mana-mana membawa buku bacaan,
kecuali karena sedang menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Mereka memiliki
ponsel pintar yang bisa menyimpan buku-buku, memutar film-film perjuangan, dan
jufa membuat karya baru. Inilah potret generasi milenial. Generasi canggih
dengan segala keterbatasannya.
Millennial, yang kali pertama dikenalkan oleh Karl Mannheim
dalam esainya berjudul "The Problem of
Generation” pada 1923, atau kadang juga disebut dengan generasi Y
adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir
pada kisaran tahun 1980- 2000 an. Mahasiswa yang lahir pada
tahun-tahun itulah yang kini berhimpun di organisasi mahasiswa bernama
HMI. Generasi ini memiliki ciri khas tersendiri. Mereka lahir pada saat TV sudah berwarna, ketika remaja
sudah booming internet,
dan menuju dewasa bergelut mesra dengan gadget. Sebagaimana
dikutip dari rumahmillennials.com,
di Indonesia sendiri dari jumlah 255 juta penduduk yang telah tercatat,
terdapat 81 juta merupakan generasi millenial atau berusia 17- 37 tahun. Hal
ini berarti Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk membangun negaranya. Siapkah
HMI memaksimalkan peluang itu?
Era kini adalah era social media.
Sebagaian besar penggunanya adalah generasi millennial. Mereka sangat mendominasi, jika
dibandingkan dengan generasi X. Banyak orang tua bilang jika generasi kini cenderung berfoya-foya,
hedonis, dan membanggakan pola hidup bebas. Tidak sedikit pula yang bilang karakteristik
generasi kini, yaitu apatis dan individual. Lebih banyak dari mereka yang tidak
peduli terhadap keadaan sosial. Apalagi disuruh mengerti dunia politik dan perkembangan
ekonomi kita. Bersiaplah menaruh kekecewaan, jika seandainya hal itu
benar-benar didata dan diteliti.
Dalam kerangka dan konteks itulah, tantangan HMI semakin berat,
baik internal maupun eksternal. Padahal, roda organisasi harus terus
dikayuh menuju tujuan muara kebahagiaan dan kemakmuran yang hakiki. Oleh
sebab itu, HMI harus mampu beradaptasi, menyesuaikan student need dan student interest. Bukan
tidak mungkin, HMI dalam konteks tertentu akan mengeluarkan jurus “mimikri”
untuk menghindari bahaya kematian yang mengancam. Ini tidak hanya soal
mempertahankan hidup, tetapi adalah soal peran, tugas, dan tanggung jawab yang
makin berat—berbekal kecanggihan ideopolitorstratak HMI. Namun, mimikri adalah
strategi awal dan harus dilanjutkan dengan “doktrinasi alienasi” sampai kepada
generasi yang highly qualified.
Mungkin HMI perlu berhenti membanggakan jumlah
kader yang melimpah dan membanggakan prestasi alumni yang berdiaspora dengan
perannya masing. Kini, HMI harus mulai berani berpikir bagaimana menjadi
generasi “asing” untuk zamannya. Sungguhpun sangat besar perjuangan Nabi
Muhammad saw. ketika awal membawa Islam ke tanah Arab, menjadi orang asing,
hingga ia benar-benar diasingkan, diancam keselamatan jiwa dan raganya,
meskipun pada akhirnya memperoleh kemenangan yang nyata, membuat peradaban baru
mengubah keadaan jahiliyyah kepada
zaman yang penuh cahaya Islam. Inilah tantangan HMI, menjadi “nabi kecil” untuk
mengeluarkan generasi melienial dari gelapnya zaman. Karena sampai kapanpun,
nabi-nabi kecil itu diperlukan untuk meneruskan misi profetik Rasulullah saw
sebagai khalifah di
bumi. Wallahu
a’lam bi al-shawaab.
Sumber: RILIS.ID
1 Comments
bos, boleh minta kontaknya abdul azis?
ReplyDelete