Laili Nuzuli Annur |
Ramadhan merupakan bulan kebahagiaan bagi umat islam yang beriman, karena di dalamnya terdapat banyak manfaat dan pahala yang dijanjikan Allah. Tidak heran jika kehadirannya sangat dirindukan, terutama oleh muslim yang beriman. Dengan berpuasa, setiap insan dapat melatih diri menahan hawa nafsu, untuk kemudian diaplikasikan dengan sikap dan level kemanusian yang tinggi. Ketika berpuasa, tubuh kita telah berjanji untuk bisa menahan lapar dan dahaga, termasuk hal-hal lain yang membatalkan puasa, walaupun pada umumnya manusia akan lebih suka dengan pemenuhan kebutuhan lapar dan hawa nafsu lainnya. Itu berarti tubuh kita sudah menyiapkan diri dan siap untuk diajak berkompromi.
Puasa melatih setiap orang tentang pengertian bahwa setiap keinginan tak selamanya harus terpenuhi. Karena pada hakikatnya puasa merupakan olah batin dan olah rasa. Selain itu, level puasa yang setara dengan jihad, dimaknai sebagai perjuangan untuk menahan diri dari hal-hal yang mengurangi atau bahkan menghapus pahala puasa. Di era milenial ini, dalam konteks kekeluargaan bahkan kebangsaan kita perlu untuk puasa dari ujaran kebencian terutama di sosial media, karena setitik coretan yang berisi ujaran kebencian berekskalasi besar untuk perdamaian bangsa ini. Kita harus memahami bahwa puasa bukan hanya soal ibadah menahan lapar, tetapi juga sebuah tantangan dan kesempatan untuk kita agar berlatih menggunakan neo korteks (memanusiakan manusia) dibanding dengan penggunaan otak reptile (otak kadal).
Ujaran kebencian yang sering berlalu lalang merupakan ekspresi dari otak reptile. Seorang dengan mudah menjudge dengan maksud untuk menyakiti atau menjatuhkan orang lain dengan menggunakan cara-cara yang primitif untuk mendapatkan rasa aman sesaat. Sebaliknya, apabila menggunakan neo korteks yang isinya adalah sikap-sikap spiritual maka seorang tersebut memiliki kepribadian yang sehat. Dengan spiritualitas yang baik tentu kita tidak akan membalas ujaran yang buruk dengan hal yang buruk pula.
Jihad menahan hawa nafsu adalah jihad yang paling utama, dengan demikian dapat kita pahami bahwa jika ada ujaran kebencian yang dialamatkan kepada kita, maka kita harus memberikan respon yang tepat. Jangan sampai membalas dengan hal yang sama. Bisa saja dengan diam dan hening sesaat akan jauh lebih bermanfaat, dibandingkan dengan kita adu mulut atau biasanya malah perang tagar di sosial media.
Ramadhan merupakan shiyamul qalb (hati yang berpuasa). Artinya kita berkomitmen untuk membentuk budaya damai dan harmonis tanpa adanya ujaran kebencian dan sikap-sikap yang menyakiti orang lain. Karena sejatinya pribadi yang berpuasa harus mampu menahan diri dari hal-hal yang dapat mengganggu atau mengusik kehidupan orang lain. Wallahu a’lam.
Oleh: Laili Nuzuli Annur, Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah Walisongo Semarang
Sumber: Militan.co
0 Comments