Oleh: Laskar Hidzib
Aku malu saat kau memanggilku dengan sebutan Kader
HMI, karena bisa jadi amal baikmu lebih banyak daripada amalku.
Aku malu saat kau memanggilku dengan sebutan itu, karena bisa jadi keikhlasanmu lebih mendalam daripada diriku.
Aku malu saat kau memanggilku dengan sebutan itu, karena bisa jadi keikhlasanmu lebih mendalam daripada diriku.
Aku
malu sangat malu saat kau memanggilku dengan sebutan Kader yang hebat, karena
bisa jadi kedudukan engkau lebih mulia di hadapan Allah. Siapa yang tahu
tentang hati ini? Bukankah yang mengetahui hanyalah diri sendiri dan Allah
semata?
Aku
sungguh sangat malu, Kawan. Engkau memanggilku dengan sebutan Kader HMI ketika
bacaan Quran ku masih terbata-bata dan belum baik. Apalagi dengan hafalan Quran
ku? Tahsin saja aku masih menunda-nunda. Apalagi untuk tingkat Tahfizh?
Aku
merasa tidak pantas, Kawan. Ketika engkau menyebutku dengan sebutan Kader yang
sering pulang larut malam karena banyak agenda Organisasi. Hingga tak jarang
aku membiarkan Mushaf itu hanya bergeletakan di atas lemari usang di
kontrakanku. Atau bahkan hanya Aku simpan di dalam tas ku tanpa sesekali Aku
membacanya.
Aku tak kuasa menahan air mata ini, Kawan. Engkau memanggilku dengan sebutan Kader HMI ketika lalai ku membuat kalian
merasa terzolimi. Lalai ketika tidak bisa menjalankan amanah yang dibebankan
kepadaku. Bahkan Aku lalai dengan keluarga dan masyarakat di sekitarku. Aku
acapkali berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan RAK, Muskom, Konfercab, dan
Kongres. Tapi Aku tidak tahu dan bahkan acuh tentang bagaimana bentuk
pengabdianku kepada masyarakat. Jangankan mengabdi, ikut kerja bakti saja
terkadang Aku masih malas.
Semarang, 20 November 2017
0 Comments