M Arif Rohman Hakim, Direktur Sekolah Pemikiran Pendiri Republik (SPPR) Semarang |
Setiap tanggal 9 Februari, Indonesia
akan selalu dan terus menerus memperingati sebuah hari yang begitu terasa
istimewa. Hari ini merupakan hari yang paling bersejarah dan berpengaruh
terhadap perkembangan kehidupan manusia, terutama bagi anak adam yang hidup
pada zaman modern seperti saat ini. Pada hari inilah dikenal sebagai hari lahirnya
dunia yang baru, hari yang mampu menjadikan dunia ini tidak lebih besar dari
daun kelor. Hari ini adalah Hari Pers Nasional.
Siebert Peterson, dalam bukunya Four
Theories of The Press, menyatakan bahwa pers selalu mengambil bentuk dan warna
struktur-struktur sosial politik di dalam mana sistem pers itu diterapkan. hal
ini mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan hubungan antara orang dan
lembaga yang akan selalu diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem
masyarakat dimana pers itu berfungsi.
Dalam buku tersebut, Siebert
Peterson mengelompokkan teori pers menjadi empat macam, antara lain teori pers
Otoritaria, Komunis, Tanggung Jawab, dan Liberalis. Selanjutnya, keempat teori
pers inilah yang dijadikan acuan dalam semua segi pers yang ada dibelahan dunia,
termasuk Asia dan khususnya Indonesia.
Di Indonesia teori pers Otoritarian
diartikan sebagai teori pers yang menganggap nilai kebenaran berada di tangan
pemerintah. Lembaga-lembaga pers swasta memiliki hak untuk mendirikan lembaga
pers dengan syarat tidak akan bertentangan dengan pemerintah. Sistem pers yang
demikian ini dulunya pernah diterapkan ketika awal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan pada masa pemerintahan presiden kedua Indonesia,
Soeharto.
Teori pers yang kedua yakni Komunis,
yakni teori pers yang mulai berkembang di Rusia. Sistem pers ini muncul karena
adanya penolakan terhadap pemerintahana NAZI. Kekerasan yang dilakukan oleh
pemerintahan yang diktator memaksa masyarakat kecil, terlebih bagi kaum buruh
untuk menyuarakan aspirasinya. Dari sinilah sistem pers ini tumbuh dan
berkembang, yaitu sebaga wadah protes kaum buruh terhadap pemerintahan.
Teori pers ini muncul sebagai
tanggapan dari teori pers Otoritarian. Sistem pers Otoritarian yang kerap kali
digunakan sebagai wadah sosialisasi kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan
oleh pemerintahan sering kali berkedok kebohongan. Kebohongan inilah yang
sering kali menjadikan masyarakat menjadi sadar jika mereka sering ditindas
oleh pemerintah. Masyarakat yang sudah merasa kecewa dengan pemerintah ini
kemudian menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas apa yang diberitakan.
Sistem pers yang demikian ini mampu dijadikan media komunikasi antara
masyarakat dengan pemerintaha tanpa ada satu hal apapun yang ditutupi.
Teori pers yang terakhir yaitu teori
pers Liberalis. Teori pers ini merupakan tanggapan dari teori pers tanggung
jawab. Dalam pelaksanaannya, teori pers Tanggung jawab dianggap kurang efektif.
Hal ini dikarenakan ketidakadaan sekat antara pemerintah dengan masyarakat
biasa. Alhasil semua kebrobokan yang ada di pemerintahan bisa dengan mudah
diketahui oleh masyarakat. Akibatnya animo ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah akan semakin besar.
Sistem pers inilah yang kemudian
sering kali diterapkan oleh sebuah negara. Sistem yang membebaskan semua media
untuk mengekspresikan keinginannya tanpa batasan apapun. Sistem ini lebih
mementingkan bagian fiansial, terutama pemasukan yang akan didapatkan oleh sang
media untuk mengeruk keuntungan dari apa yang telah diberitakan. Dalam sistem
ini menekankan bahwa lembaga pers bukanlah media komunikasi antara pemerintah
dengan masyarakat, melainkan media untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Sistem Pers Pancasila Yang Luntur
Dalam sebuah negara, tidak menutup
kemungkinan untuk menerapkan keempat teori tersebut. Dan bahka sebuah negara
bisa menciptakan teori persnya sendiri. Hal ini didasarkan kepada kebutuhan
teknologi dan informasi negara tersebut. Seperti halnya negara yang baru
merdeka, maka teori pers yang biasanya diterapkan adalah teori pers
Otoritarian. Hal ini dilakukan untuk memupuk tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintahan yang baru berdiri.
Menurut Anwar Arifin (1992), sistem
pers yang diterapkan di Indonesia adalah teori pers Pancasila. Semangat pers
Pancasila ini mencoba untuk mengambil semua kelebihan yang dimiliki oleh
keempat teori pers diatas dan meminimalisir dampak negatif yang diakibatkannya.
Secara gagasan, teori pers ini memang baik, akan tetapi pada praktiknya, teori
pers ini dinilai masih jauh dari yang diharapkan.
Nakalnya lembaga-lembaga pers yang
ada di Indonesia disinyalir menjadi awal mulai runtuhnya teori pers Pancasila.
Banyak media-media yang sudah melepaskan ideologinya demi uang, bahkan tak
jarang yang menjual independensinya. Hal ini bisa dilihat saat pemilihan
presiden 2014. Bagaimana media-media menjadi pendukung masing-masing calon yang
dijagokannya.
Masalah lain yang sering dialami
teori pers Pancasila ini yaitu tingginya rating tayangan-tayangan yang tidak
memiliki nilai pendidikan, seperti sinetron, infotaiment, iklan, dan lain-lain.
di media cetak pun juga tidak jauh berbeda. Banyak media-media cetak yang
mengumbar gambar-gambar tidak senonoh. Parahnya lagi, banyak media-media
Indonesia yang membuat berita palsu demi mengejar popularitas.
Padahal, jika kita menengok dari
konsep yang digambarkan oleh Anwar Arifin tidak demikian. Semangat pers yang
dulu digalakkan oleh ahli komunikasi ini seakan sudah mulai termakan usia.
Gagasan hanyalah tinggal gagasan, dan kini yang terpenting adalah uang. Jadi
tidak salah jika orang menyebut lembaga-lembaga pers di Indonesia sebagai
lembaga pers komersial.
Untuk mengembalikan semangat pers
Pancasila sebagaimana yang digagas oleh Anwar Arifin memang tidak mudah.
Mengingat sudah menjamurnya dunia infotaiment Indonesia dengan
tayangan-tayangan yang tidak memiliki nilai pendidikan. Akan tetapi bukan tidak
mungkin untuk memperbaikinya atau bahkan membuatnya lebih baik lagi.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ali Syari’ati bahwa sejarah yang paling berharga adalah sejarah masa depan.
Sejarah yang bisa terjadi berdasarkan masa kini. Beranjak dari argumentasi ini,
maka perlu adanya perbaikan sistem di dunia pers mulai dari sekarang. Selain
itu, perlu adanya kerja sama antara pemerintah dengan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) untuk mengawasi setiap
tayangan dan pemberitaan yang tidak memiliki nilai, terlebih nilai pendidikan.
Wallahu A’lamu bi Al-Shawab.
Dimuat di Koran Wawasan, Senin, 9
Februari 2015
0 Comments