Subscribe Us

header ads

Dimanakah Letak Independensi HMI? Refleksi Milad HMI ke 78 Sebagai Organisasi Yang Independen

 





Dok: Kompasiana.com

Beberapa waktu lalu, seorang politisi memberikan sebuah materi stadium general, isinya berbicara tentang realitas politik. Politsi tersebut juga menyinggung bahwa jika ingin seperti dirinya maka berHMI lah. Seolah sang politisi ingin menyampaikan bahwa HMI merupakan tangga menuju kesuksesan di kancah politik. Tidak ada yang salah sebenarnya mengenai pernyataan tersebut. Namun, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan bukankah HMI tidak terikat oleh pengaruh politik apapun? Kemudian timbul pertanyaan baru, dimanakah letak independensi HMI?

Menarik bagi saya untuk membahas tentang independensi HMI. Sebagaimana kita ketahui dalam buku-buku HMI atau pengetahuan yang kita dapatkan di LK 1 HMI, HMI dikenal sebagai organisasi independen. Hal itu juga tertuang dalam pasal 5 Anggaran Dasar HMI yang berbunyi HMI bersifat Independen. Lalu apa makna independensi? Kata independent berasal dari bahasa Inggris Independent­ yang berarti mandiri, tidak bergantung pada siapaun, dan tidak terikat oleh pengaruh apapun. Dalam konteks politik, HMI tidak terikat oleh partai politik manapun. HMI tidak bisa dijual atas kepentingan politik apapun.

Dalam pengertian lain, makna independensi HMI memiliki 2 aspek, yakni independensi etis dan organisatoris. Independensi etis mengacu pada kemandirian kader secara pribadi sebagai insan yang merdeka. Sikap, watak, dan tindakannya selalu mengacu pada kebenaran (hanif). Selain itu, ada juga independensi organisatoris. Independensi organisatoris bukan hanya tentang kemandirian suatu organisasi, namun juga mengacu pada komitmen kader kepada organisasi untuk tetap berada di jalan perjuangan bersama atau perjuangan menuju kehanifan bersama. Independensi organisatoris merupakan prinsip HMI untuk tidak terikat dan terpengaruh oleh kepentingan apapun.

Dalam pengertian NDP, independensi berarti kemerdekaan manusia atas belenggu apapun. Manusia yang tidak bisa dibelenggu, dikekang, atau diikat oleh kekuatan apapun selain kekuatan Tuhannya. Kalimat syahadat telah mendeklarasikan bahwa semua manusia pada prinsipnya setara, tidak ada yang lebih tinggi, hebat, atau pun kuat dan tidak ada yang lebih hina, rendah ataupun lemah. Semuanya setara. “Tidak ada tuhan selain Allah” yang jika kita pahami secara mendalam kalimat tersebut memiliki arti tidak ada belenggu apapun yang bisa membelenggu manusia, selain belenggunya Allah. Manusia-manusia yang merasa dirinya kuat bahkan menganggap dirinya mampu mengendalikan manusia di bawahnya (memperbudak), maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas (thoghut). Mereka disebut melampaui batas karena mencoba menyetarakan dirinya dengan tuhan (dengan melakukan perbudakan). Maka, melawan perbudakan adalah sebuah keharusan bagi kader HMI sebagaimana tujuan awal HMI.

Namun saat ini semangat perjuangan untuk melakukan penyetaraan telah berubah menjadi abu-abu. perjuangan itu telah berubah menjadi politik balas budi. Siapa kenal siapa, dekat dengan siapa, dapat apa, dan oleh siapa. Rupanya politik balas budi tidak hanya menjalar di era pemerintahan mulyono, namun juga di akar tunggak kader HMI. Entah sejak kapan mungkin sudah lama. Adinda-adinda di bawah dituntut untuk menyuarakan idealitas, tapi kakanda-kakanda di atas justru bicara realitas. Adinda-adinda bertanya tentang bagaimana seharusnya, tapi kakanda-kakanda justru bicara keadaannya. Adinda ini sedang di fase semangat untuk menggelorakan kebenaran, tapi kakanda mematahkannya dengan berbicara fakta. Semua orang berkumpul dengan kepentingan masing-masing. Kakanda cari orang, sedangkan adinda cari uang. Merapat sana-merapat ini yang dibicarakan soal perkaderan tapi dibalik itu semua sebuah transaksi proyek terjadi. Begitu miris melihat realita yang terjadi.

Lebih lanjut, politisi tersebut juga mengatakan bahwa sebagai mahasiswa sudah selayaknya melakukan dan menyuarakan idealitas, namun saat sudah waktunya (seperti si politisi) idealitas perlahan akan semakin sulit dilakukan. Beliau juga mengatakan tentang 5 kualitas insan cita, bahwa membicarakan idealitas sangatlah mudah, namun implementasinya sangat sulit. Sebuah idealitas mustahil diwujudkan tanpa sebuah modal. Dirinya mengungkapkan bahwa kita tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.

Kader sebagai tulang punggung untuk kelompok yang lebih besar tanpa sadar terikat dalam sebuah ikatan. Bukankah dalam pedoman perkaderan ikatan itu hanya dimaksudkan untuk ikatan cita-cita, visi, dan misi organisasi yang sama? Artinya kita berjuang atas cita-cita yang sama, tujuan yang sama, visi dan misi yang sama. Namun faktanya ikatan itu ternyata bukan hanya untuk organisasi, namun juga untuk kepentingan pihak tertentu. Menjadi ketua umum komisariat misalnya, yang awal tujuannya untuk membawa komisariatnya ke arah yang sudah diharuskan, namun faktanya hanya sebagai tangan pembantu calon pejabat publik yang lebih tinggi. Penyelenggara aksi yang sudah seharusnya menjadi tokoh pendorong massa untuk menyerukan aspirasinya, nyatanya hanya menumpang di kendaraan massa untuk mencari keuntungan di pihak yang diuntungkan. Membuat acara besar sangat mustahil diadakan jika tanpa tangan-tangan pembantu dibelakangnya. Persis seperti pernyataan tokoh politisi yang saya sebutkan diatas bahwa kita hidup tidak bisa tanpa tangan-tangan (bantuan) yang lain. Tentu ini adalah sebuah ikatan. Bukan ikatan untuk melakukan independesi organisatoris (idealisme organisasi) melainkan ikatan balas budi.

Kesetaraan yang digaungkan dalam kalimat syahadat seakan semakin kabur dengan adanya ikatan balas budi tersebut. Tidak mengapa jika kita berhutang pada yang secara etis memiliki prinsip dan tujuan yang sama. Namun jika kita salah berhutang, tentu akan berbeda ke belakang. Kita tidak bisa melakukan perlawanan untuk seseorang yang telah melakukan hal besar untuk kita. Gerakan kita menjadi sangat terbatas mengingat banyaknya kebaikan-kebaikan yang dilayangkan untuk kita. Tanpa sadar kita menjadi terikat, terbelenggu oleh kebaikan-kebaikan yang kita dapatkan. Dan kembali lagi, kita menjadi tidak setara atau tidak independen.

Tak perlu terlalu jauh sebenarnya untuk memikirkan independensi organisatoris HMI. Pikirkanlah utamanya mengenai Independensi etis (pribadi). Apakah kita sebagai kader HMI secara pribadi telah menjadi insan yang benar-benar mandiri atau dalam NDP disebut insan yang merdeka? Masihkah kita menerima pemberian orang lain atau bahkan justru kita yang mencarinya? Independensi etis pada hakikatnya ialah prinsip seorang kader bagaimana ia menjaga harga diri dari pengaruh kepentingan apapun. Merdeka sejatinya ialah tidak membiarkan orang lain mengambil keputusan secara pribadi. Merdeka sejatinya memberikan diri ruang celah untuk berpikir secara matang tanpa gangguan pengaruh apapun. Ingatkah sumpah yang diucapkan semasa pelantikan bahwa akan senantiasa menjaga nama baik himpunan?

Segala tindak tanduk seorang kader sejatinya harus sesuai dengan prinsip, tujuan, dan arah perjuangan HMI. Meskipun independensi etis berbicara tentang kader secara individu, namun penekanan utamanya adalah untuk seorang pemimpin. Seorang pemimpin kader HMI tidak boleh menjual prinsipnya hanya untuk sesuatu yang praktis. Selain itu, seorang pemimpin harus membawa dan mendorong kader-kader HMI untuk menjaga independensi etis. Independensi etis adalah kunci terwujudnya independensi organisatoris. Ketika HMI berhasil menjaga independensinya, ia bukan hanya menjaga harga diri namun juga memberikan teladan bahwa idealisme akan tetap berjalan tanpa menjual prinsip dan moral HMI. HMI yang independen akan menjadi pilar kekuatan bagi umat, bangsa, dan negara.

 

Oleh: Siti Inayah (Sekertaris Umum HMI Komisariat Dakwah Walisongo Semarang)

 

Post a Comment

0 Comments